Tinta Biru Si Gadis Desa
Oleh maya febrika yuliani*
Pagi hari yang cerah tampak matahari yang enggan menampakkan senyumnya ditengah rerumpunan hijau padi yang menari dihembus angin. Butiran embun berjatuhan mengenai tanganku yang membuatku merasakan dinginnya pagi ini. menyambut hari pertamaku kembali ke tanah kelahiran. Kulangkahkan kaki ke sebuah rumah yang berada dekat di ujung sawah. Tak sabar lagi rasanya aku menuliskan semua imajinasiku dengan ukiran tinta biru pena kecilku di kertas diaryku. Tak lama setelah itu terdengar hentakan kaki seseorang dari dalam rumah seakan menuju ke arahku dengan tatapan yang begitu membuatku senang.
“Ayah belum berangkat ke kantor? Nanti kalau ayah terlambat bagaimana?” kataku sembari mencium tangan ayah
“Tidak nak, ayah sedang tidak bekerja hari ini demi anak ayah yang cantik” sembari mengelus rambutku
“ hmhm ayah seharusnya tidak perlu seperti itu, kan kita bisa bertemu setelah ayah pulang bekerja. Lagipula ayah kan seorang pemimpin di desa ini” cetusku dengan penuh rasa harap
“Oh jadi anak ayah sekarang sudah dewasa” jawab ayah singkat.
Mendengar jawaban ayah aku pun tak kuasa menolak keinginan ayah. Kemudian aku diajak berkeliling desa yang telah lama aku tinggalkan dengan motor butut kesayangan ayah. Rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan suasana seperti ini semenjak aku meneruskan pendidikanku keluar kota. Yang terbesit di ingatanku dulu aku adalah seorang anak yang selalu ada dimanapun ayah pergi. Sehingga orang menganggapku anak manja yang bisanya bersembunyi dibalik baju dinas ayah. Di ujung jalan persimpangan desa aku melihat ada warung kecil yang dulu aku dan ayah sering makan disana. Rasanya aku tidak sabar lagi menikmati sepiring kecil gado-gado yang siap untuk menggoyangkan lidahku.
“Bibi?? Biasa pesananku dengan ayah” sambil mengedipkan mata dan tersenyum
“Eh neng Tari, kapan pulang? Sudah lama tidak mampir ke warung bibi. Kelihatannya tambah cantik saja.” jawab bibi
“Ah bibi bisa saja, Tari masih seperti yang dulu kok bi, yang suka makan gado-gado gratis.” Cetus Tari sambil cengengesan
Sembari menunggu bibi membuat gado-gado yang kami pesan, aku berbincang-bincang dengan ayah
“Yah kenapa sih ayah tidak mencoba untuk menjadi bupati saja? Kan ayah sudah 10 tahun menjabat sebagai kepala desa? Tidakkah ayah bosan?” tanyaku dengan penasaran
“Sssttt bicara apa kamu ini, ayah masih menjabat sebagai kepala desa karena warga masih percaya pada ayah. Jadi ayah harus menjaga kepercayaan mereka” jawab ayah.
Tak lama kemudian bibi menghampiri kami dengan membawa gado-gado pesanan kami. Tanpa pikir panjang aku pun langsung menyantapnya, sampai-sampai ayah heran melihat tingkahku. Matahari seakan mulai lelah menampakkan diri, aku dan ayah memutuskan untuk pulang. Dari kejauhan aku melihat seorang wanita yang tersenyum melihat kami, dia lalu menyuruhku mandi dengan suara halusnya. Setelah sholat maghrib kubuka kembali lembaran diary yang ku tulis pagi tadi. Kugoreskan kembali pena kecil kesayanganku tentang kebersamaanku dengan ayah hari ini. Tinta biru yang selalu menemani setiap pengalamanku. Tak sengaja terlintas dibenakku tentang profesiku nanti?
“Apakah aku ingin mengikuti jejak ayah? Tapi ah tidak, kurasa pekerjaan ayah terlalu membosankan” pikirku dalam hati.
Kelopak mataku mulai terasa berat mungkin aku lelah seharian berkeliling desa. Sekujur tubuhku terasa lemas. Kututup buku diaryku dan melangkahkan kaki menuju tempat tidurku.
Pagi ini aku malas sekali rasanya untuk melangkahkan kaki keluar rumah. Badan yang tadinya lelah terasa segar kembali, mata yang tadinya redup kini terang kembali. Matahari telah meninggi, terdengar suara orang sedang berbincang-bincang di ruang tamu. Hal ini sangat menyebalkan bagiku. Tak sengaja kudengar perbincangan mereka yang begitu serius yang membuatku merasa jenuh dan ingin keluar kamar, kelihat wajah-wajah tegang yang kelihatannya membicarakan hal serius. Kutunggu kepulangan mereka dengan duduk santai sambil menikmati sepiring pisang goreng manis buatan ibu. Beberapa menit kemudian, mereka keluar satu per satu dengan wajah murung yang membuat hatiku bertanya-tanya. Terdengar suara seseorang yang sedang berbicara kepada ayah.
“ Saya harap bapak dapat menyelesaikan masalah ini, bagaimanapun caranya?”
“Saya akan mencari jalan keluar dari masalah ini, tolong beri saya waktu 2 hari” kata ayah dengan nada cemas
“ Baik, saya akan pegang janji bapak” jawab orang itu sambil meninggalkan rumahku.
Rasa penasaranku membuat aku memberanikan diri bertanya kepada ayah
“Ada apa ayah, sepertinya ayah sedang ada masalah? Mungkin aku bisa membantu?” tanyaku dengan nada lirih
“Ini bukan masalahmu, ayah harap kamu tidak mengganggu ayah dalam 2 hari ini” pinta ayah padaku
“Tapi yah....” (ayah kemudian pergi meninggalkanku)
Hatiku bertanya-tanya sebenarnya ada apa dengan ayah, dia tidak biasanya bersikap dingin kepadaku. “Apa masalah desa ya?” tanyaku dalam hati. Kekesalanku pada sikap ayah mendorongku untuk mencari tahu masalah itu. aku masuk rumah dengan wajah agak murung tanpa sengaja aku melihat buku kerja ayah tergeletak diatas meja. Mataku tertuju pada sebuah map biru milik ayah, saat tanganku ingin membuka lembaran map itu, ayah datang mengagetkanku.
“Tari sedang apa kamu?” tanya ayah dengan nada membentak
“ emmm tidak ayah aku hanya ingin membereskan meja ini” sambil membereskan gelas di atas meja.
“Ayah, aku masih penasaran sebenarnya apa yang terjadi pada ayah, apa ini ada hubungannya dengan pekerjaan ayah?” tanyaku
“Sudah ayah bilang ini bukan urusanmu” jawab ayah
“ Ayah, harus berapa kali aku bilang sebaiknya ayah berhenti menjadi kepala desa, ingat dengan kesehatan ayah” tak sengaja meneteskan air mata.
“ Tau apa kamu dengan pekerjaan ayah, sudah sebaiknya kamu diam saja!!” bentak ayah.
Hatiku bergetar mendengar perkataan ayah, Aku pun pergi kekamar dan menangis. Untuk mengurangi rasa sedihku, aku mengambil diary dan pena kecil kesayanganku dan kutuangkan semua kesedihanku. Aku berjanji kepada diriku sendiri untuk membantu ayah dalam menyelesaikan masalahnya.
“Apapun yang terjadi aku harus membantu ayah” itulah ukiran tinta biruku di buku diary yang akan selalu kuingat. Keesokan paginya kulihat ayah tergesa-gesa keluar rumah mengendarai motor dinas yang dimilikinya. Namun, hati kecilku tidak tenang, aku takut terjadi sesuatu pada ayah. Kuhela nafas panjang untuk menenangkan hatiku, terdengar suara ibu memanggilku dari dapur.
“Tari... tolong bantu ibu sebentar” teriak ibu
“Iya bu” (sambil menuju kedapur).
Saat sedang asyik membantu ibu tiba-tiba tanganku tergores pisau. Aku langsung terpikir kepada ayah. Kemudian, terdengar dering telepon dari ruang tamu. Aku lalu bergegas menghampiri suara itu.
“Halo” tanyaku
“Apa benar ini kediaman bapak Dirman kepala desa?”jawabnya
“Iya benar. Tapi ayah sedang tidak ada di rumah. Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyaku lagi.
“Kami dari rumah sakit Medika ingin memberitahukan bahwa ayah anda sedang dirawat disini dan dalam keadaan koma akibat kecelakaan.” Jawabnya
“ Apaaaa???” aku langsung melepaskan telepon yang ada ditanganku.
Aku merasa sangat terpukul,dengan nada lirih aku mencoba memberitahukan hal itu pada ibu.
“ Bu ayah bu ayahhhh” kataku dengan nada terputus-putus.
“ ada apa dengan ayah”tanya ibu penasaran.
“ Ayah.. ayah di rumah sakit bu, ayah kecelakan”jawabku sambil menangis.
“Apaaaaa”
Tanpa berpikir panjang mereka lalu bergegas menuju rumah sakit medika. Kuhampiri ayah yang tergeletak lemah dengan beberapa alat bantu ditubuhnya. Tiba-tiba terdengar suara lirih tak berdaya yang memanggilku.
“Tariiii” (mencoba mengelus tari)
“ayah!! ayah tidak apa-apa.”tanyaku kaget
“ Tarii, jika ayah tidak ada nanti ayah titip ibu ” kata ayah dengan nada terbata-bata
“ayah, ayah tidak boleh bicara seperti itu. Ayah pasti bisa sembuh” aku langsung memeluk ayah.
“Tidak Tari ayah merasa umur ayah sudah tidak lama lagi. Tari ingat pesan ayah, ayah adalah seoarang kepala desa, jika nanti ayah pergi ayah minta kamu menggantikan ayah memimpin desa ini. Desa ini adalah tanah kelahiranmu Tari.” Jawab ayah menasehatiku.
“ Iya ayah, Tari janji”jawabku.
Aku pun keluar dari kamar rawat ayah menuju ke taman rumah sakit. Rumput hijau seakan bergoyang menyapaku ikut merasakan perihnya hatiku. Bangku putih mungil tempat kucurahkan isi hatiku. Kuambil buku diary dan pena mungilku, kembali kugoreskan tinta biru yang selalu menjadi saksi semua kejadian yang ku alami. Tak lama setelah itu terdengar suara ibu memangglku. Aku langsung berlari menghampiri ibu, hatiku semakin pilu ketika melihat seorang perawat menutupkan kain putih ke sekujur tubuh ayah. Kain yang membawa kesedihan dan penderitaan yang baru bagiku dan ibu. Bagaimana hidup kami tanpa ayah? Sosok pembimbing kami telah meninggalkanku untuk selamanya. Hatiku bagai tersayat pisau tajam berkali-kali, aku berusaha menahan air mata yang mulai penuh yang rasanya ingin mengalir dipipi merahku. Prosesi pemakaman ayah dihadiri oleh hampir seluruh warga desa, tangis haru mengiringi pengantaran jenazah ayah ke tempat peristirahatan yang terakhir. Satu hari setelah kepergian ayah diumumkan akan diadakannya pemilihan kepala desa baru. Mendengar hal itu aku teringat pesan ayah, bahwa aku harus meneruskan tugas ayah yang belum selesai. Hatiku semakin gelisah memikirkan permintaan ayah itu, bagaimana aku bisa menjadi kepala desa, sedangkan aku tidak pernah suka dengan profesi itu?pikirku dalam hati sambil mondar-mandir. Tapi aku harus menjalankan wasiat ayah yang terakhir, dengan menarik nafas panjang aku berusaha untuk menolak egoku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk pergi kebalai desa dan mencalonkan diri sebagai kandidat kepala desa walaupun dengan umurku yang masih terlalu muda.
Menjelang hari pemilihan, aku merasa semakin bimbang dengan keputusanku. Apa yang bisa aku lakukan? Tidak mungkin aku bisa menang dalam pemilihan ini?. Untuk menenangkan perasaanku, aku keluar rumah untuk mencari angin segar. Di tengah perjalanan, aku melihat seorang anak kecil yang sedang menangis.
“ ada apa dik?”
“Sepedaku kak, sepedaku rusak” sembari memperlihatkan sepedanya
“mana kakak lihat, oh ini tidak rusak sudah jangan nangis. Sini kakak perbaiki”aku langsung memperbaiki rantai sepeda anak kecil itu.
Ternyata dibalik sifat Tari yang dianggap warga desa adalah anak yang manja, anak yang mudah jenuh dengan sesuatu sebenarnya ia memiliki jiwa penyayang pada anak-anak. Setelah selesai memperbaiki sepeda anak kecil itu aku langsung pulang dan mandi. Keesokan paginya aku berjalan mengitari sawah, dan tak sengaja aku mendengar seorang warga membicarakanku. Tapi aku tak menghiraukan mereka. Hari pemilihanpun tiba, dengan kemeja putih polos yang ditutupi jas hitam aku mulai berjalan menuju balai desa. Aku tertegun melihat antusias warga yang sangat bersemangat mengikuti pemilihan itu. Aku tak bisa berbicara apapun saat panitia mengumumkan bahwa aku terpilih menjadi kepala desa. Aku seakan tak percaya saat namaku dipanggil ke atas podium. Berat rasanya kaki ini untuk melangkah, dengan langkah pelan namun pasti aku naik ke atas podium dan memberikan pidato terbaikku. Diiringi sorak gembira dan senyuman dari semua warga aku dengan bangga menyambut profesi baruku.
Setelah aku terpilih menjadi kepala desa, aku baru merasakan betapa besarnya tanggung jawab ayah dulu. Padahal aku selalu meremehkan profesi ini. Sekarang aku berjanji akan membangun desaku dengan seluruh kemampuan yang ku punya bersama dengan do’a ayah. Aku senang karena warga desa hidup makmur meskipin dalam kesederhanaan.
TAMAT
*cerpen ditulis oleh Guru SMA PLUS NEGERI 2 BANYUASIN III
Tidak ada komentar:
Posting Komentar